Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa ada lima alat bukti yang dapat digunakan dalam membuktikan apakah seseorang atau korporasi bersalah melakukan suatu tindak pidana yaitu :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
Kelima alat bukti inilah yang digunakan oleh aparat penegak hukum dalam memeriksa dan mengungkap suatu perkara pidana termasuk tindak pidana korupsi. Dengan adanya ketentuan khusus yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengubah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), maka di dalam ketentuan tersebut juga diatur atau disebutkan tentang alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam mengungkap kasus korupsi.
Walaupun dalam undang-undang korupsi juga diatur secara khusus tentang alat bukti yang dapat digunakan dalam memeriksa kasus korupsi, akan tetapi secara umum apabila terdapat ketentuan yang tidak diatur khusus dalam ketentuan tersebut, maka tetap berpedoman pada KUHAP sebagai payung hukum acara formil.
Sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP menentukan lima jenis alat bukti yang sah dan jika dihubungkan dengan jenis alat bukti tersebut, terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana apabila kesalahannya dapat dibuktikan dengan paling sedikit dua jenis alat bukti atau memenuhi prinsip minimum pembuktian ditambah dengan keyakinan Hakim.
Jenis alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya dalam Pasal 26 A yaitu :
1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, maka menurut Ratna Nurul Afiah (1989:19), harus memenuhi unsur :
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
b. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Menurut A. Hamzah (2004;112) menyatakan tentang barang bukti atau benda yang dapat disita yaitu :
Barang-barang kepunyaan tersangka yang diperoleh karena kejahatan dan barang-barang yang dengan sengaja telah dipergunakan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 181 KUHAP mengatur tentang pemeriksaan barang bukti di persidangan, yaitu sebagai berikut :
a. Hakim, ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-Undang ini.
b. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.
c. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya meminta keterangan seperlunya tentang hal tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, tampak bahwa dalam proses pembuktian tindak pidana keberadaan alat bukti dan barang bukti itu sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara yang sedang ditangani atau diperiksa. Pendapat dari Ratna Nurul Afiah (1989:20) bahwa :
Barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Misalnya : Si A didakwa telah mencuri kalung emas milik Si B seberat 10 gram, dalam persidangan untuk mengejar kebenaran apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum maka setelah memeriksa terdakwa dan saksi, hakim pun memperlihatkan barang bukti (kalung emas) tersebut, dan menanyakan kepada terdakwa dan saksi apakah ia mengenal kalung tersebut, dan apakah betul kalung tersebut yang dicuri oleh terdakwa dan apakah benar kalung itu adalah milik B dan seterusnya. Lebih lanjut di kemukakan bahwa apabila dikaitkan antara Pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan Pasal 181 ayat (3) KUHAP, maka barang bukti itu akan menjadi keterangan saksi jika keterangan tentang barang bukti itu dimintakan kepada saksi atau keterangan terdakwa jika keterangan tentang barang bukti itu dimintakan kepada terdakwa.
0 komentar:
Post a Comment